Pluralitas Yes, Pluralisme No
Oleh Faisal Zaini Dahlan
By adminpadek
Jum'at, 16-September-2005, 01:40:54
Terrence W. Tilley dalam Postmodern Theologies and Religious
Diversity (1996) cenderung membedakan pluralitas dan pluralisme. Pluralitas
menunjukkan realitas keragaman sedangkan pluralisme dalam konteks studi
agama-agama dikenal sebagai salah satu bentuk penyikapan atas realitas
pluralitas itu sendiri.
Kedua kata itu selama ini dimaknai simpang siur dan tumpang tindih. Kata
pluralisme sering dipakai ketika sebenarnya yang ingin dijelaskan adalah
realitas pluralitas, keragaman atau agama yang pluralistik. Ungkapan "saat ini
kita berada di era pluralisme agama" tidaklah tepat untuk menjelaskan bahwa
kita berada pada suatu masa dimana keragaman agama menjadi realitas yang tak
terelakkan. Seharusnya ungkapan itu berbunyi: "saat ini kita berada di era
pluralitas agama".
Pluralitas Agama sebagai Realitas
Dalam konteks posmodernisme, pluralitas menjadi salah satu struktur
fundamental. Segala fenomena menampakkan wajah pluralistik, sehingga sulit
dipertahankan paradigma tunggal dalam diskursus apapun, baik budaya, agama,
ras, ekonomi, ilmu pengetahuan, bangsa, negara, hingga aspirasi politik. Dalam
kaitan inilah disebut bahwa pluralitas telah menjadi keniscayaan yang taken for
granted (Amin Abdullah: 1993).
Mau tidak mau, setuju tidak setuju, segala lini kehidupan telah menjadi
beragam. Problem yang muncul dari realitas ini adalah, bagaimana masing-masing
menyikapi keragaman itu. Goal yang ingin dicapai, sebuah kesadaran bahwa
pluralitas yang memiliki konsekuensi logis perbedaan (divercity), adalah
realitas yang tidak bisa dielakkan. Ruh yang terkandung dan menjadi elan
kesadaran pluralitas adalah kesediaan masing-masing untuk menerima perbedaan,
sehingga perbedaan itu tidak menjadi kendala menjalin kebersamaan.
Dalam bahasa agama, pluralitas merupakan sunnatullah, hukum alam yang
memang menjadi ketentuan dan kehendak Tuhan. Dalam konteks Islam, Kitab Suci
menyebutkan jika seandainya Tuhan menghendaki semua manusia menjadi satu
kepercayaan dan keyakinan, itu bukan hal yang sukar bagiNya. Menurut
Allahuyarham Mohammad Natsir dalam bukunya Keragaman Hidup Antar Agama (1970:
11), hikmah Ilahi dari realitas bermacam-macam kepercayaan dan keyakinan yang
akan terus ada di dunia ini, untuk menguji siapakah di antara bermacam-macam
golongan itu yang lebih baik amal dan akhlaknya dalam hidup di dunia ini.
Pluralisme Sebagai Paham
Di antara penyikapan terhadap pluralitas agama, terdapat paham yang lebih
dari sekedar kesadaran untuk menerima keragaman sebagai realitas, tetapi
menjangkau lebih jauh ke dalam diskurus kebenaran agama-agama. Ninian Smart,
tokoh perbandingan agama ketika menjelaskan entri "Pluralism" dalam New
Handbook of Christian Theology (1992), menyebutkan lima pandangan penganut
agama terhadap agama lain;
(1) eksklusivisme absolut, memandang kebenaran hanya ada pada agamanya,
sekaligus menolak kebenaran pada agama lain, (2) relativisme absolut berprinsip
untuk mengetahui kebenaran suatu agama harus menjadi pemeluk agama tersebut,
karenanya suatu agama tidak memiliki akses terhadap keyakinan agama lain, (3)
inklusivisme hegemonistik, memandang terdapat kebenaran pada agama lain meski
prioritas kebenaran tetap ada pada agamanya, (4) pluralisme realistik memandang
pluralitas agama sebagai jalan atau versi yang variatif dari sebuah kebenaran
yang sama, dan (5) pluralisme regulatif yang melihat semua agama sedang
mengalami evolusi historis menuju kebenaran bersama yang belum terdifinisikan.
Terkait dengan pluralisme agama, beberapa pendapat lain juga tampak
bermuara ke arah yang sama. Anselm Kyongsuk Min, Guru Besar Studi Agama di
Clarmont, dalam "Dialectical Pluralism and Solidarity of Others: Towards a New
Paradigm" (Journal of American Academy of Religion/63,1997), menyebut lima
paradigma pluralisme yang berkembang di Amerika, yakni
(1) Phenomenalis Pluralisme dengan tokoh John Hick dan Paul Knitter yang
memandang agama-agama sebagai wujud respon yang berbeda terhadap realitas
transenden, (2) Universalist Pluralisme dengan tokoh Leonard Swidler, Wilfred
Cantwell Smith, Ninian Smart, menekankan keniscayaan dan keharusan sebuah
teologi universal berdasarkan pemahaman atas sejarah agama-agama, (3) Ethical
or Setereocentric Pluralisme dengan tokoh Rosemary Ruether, Marjorie Suchocki,
Tom Driver, menekankan pentingnya keadilan sebagai ukuran agama-agama, (4)
Ontological Pluralisme, dengan tokoh Raimundo Panikkar, bahwa pluralisme bukan
hanya pengetahuan tentang Yang Ada (being) tetapi Yang Ada itu sendiri (being
itself) memang plural, serta (5) Confessionalis Pluralisme dengan tokoh Hans
Kung, John Cobb, Jurgen Moltmann, yang menekankan keharusan setiap agama
menegaskan partikularitasnya, termasuk tentang klaim finalitas.
Pendek kata, semua varian maupun derivasi ide pluralisme agama tampaknya
menggiring kepada pemahaman tentang relativitas atas klaim finalitas dan
kebenaran yang diyakini sebuah agama, sehingga agama-agama tereduksi menjadi
subordinasi atau partikulasi. Kyongsuk Min mengkritik kelima varian yang
berkembang di Amerika itu, terutama dalam hal penanggalan klaim finalitas dan
kebenaran, dan kemudian mengajukan paradigma baru yang ia sebut Dialectical
Pluralisme.